Kamis, 28 Mei 2009

Keterampilan Membaca dan Apresiasi Puisi

PENGARUH KETERAMPILAN MEMBACA INTENSIF

DAN MINAT MEMBACA TERHADAP NILAI APRESIASI PUISI[1]

(Tesis Mini)

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Dengan diberlakukannya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) di sekolah-sekolah berarti ada perubahan tujuan pengajaran. Hal ini juga menyangkut tujuan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Pengajaran Bahasa Indonesia lebih dititikberatkan pada keterampilan berbahasa dan bukan lagi teori berbahasa. Demikian juga dalam pengajaran sastra, lebih diarahkan pada apresiasi sastra daripada teori dan sejarah sastra.

Masalah pelajaran bahasa dan sastra Indonesia merupakan problema yang sulit dipecahkan. Kesulitan tersebut diakibatkan oleh unsur pendidikan yang saling berkait. Lancarnya pendidikan akan ditentukan oleh berbagai pihak, yaitu pemerintah, masyarakat, dan lingkungan. Ketiga unsur tersebut harus saling mendukung jalannya pendidikan.

Ada keluhan dari sastrawan dan kritikus sastra bahwa banyak siswa tidak apresiatif terhadap karya sastra. Banyak tulisan di media cetak dan berbagai ‘debat’ di forum-forum diskusi gencar mengangkat tema kegagalan pembelajaran sastra (Sawali, 2008). Suwardi Endraswara dalam Suara Merdeka (1 September 2002) mengeluhkan akan kemampuan guru sastra. Ia bahkan menyebutnya ‘detik’detik kematian pengajaran sastra’. Hal tersebut ditimpali oleh Mokh Doyin (Suara Merdeka, 8 September 2002) yang menyatakan bahwa sastra memang belum dibutuhkan dalam pengajaran sastra.

Minat siswa terhadap karya sastra juga masih rendah. Penelitian yang dilakukan oleh J.U Nasution terhadap siswa SMA kelas III di DKI Jakarta, menyebutkan bahwa di kalangan pelajar hanya sekitar 1% yang berminat terhadap karya sastra. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Yus Rusyana dan Sofjan Zakaria terhadap siswa SMA di Jawa Barat dan Mukhsin Ahmadi terhadap siswa di Jawa Timur (Piek Ardijanto, Soeprijadi, Suara Merdeka, 18 Oktober 2005).

Apresiasi masyarakat terhadap puisi juga kurang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Kalau masyarakat Indonesia yang berjumlah 150 juta jiwa , maka pembaca sastra diperkirakan berkisar 100 – 200 ribu jiwa. Jika pembaca sastra berkisar 200 ribu jiwa, maka penikmat puisi hanya 500 – 100 jiwa (Aftarudin, 1990: 33). Kalau perbandingan ini dikaji terhadap siswa, hasilnya akan lebih kecil lagi.

Keterampilan membaca sangat diperlukan dalam mengapresiasi karya sastra, termasuk puisi. Dalam mengapresiasi karya sastra siswa dituntut untuk terampil membaca, khususnya membaca pemahaman (intensif). Akan tetapi, kemampuan membaca siswa sangat rendah. Hasil sutudi yang dilakukan oleh Book and Reading Development (2002) yang dilaporkan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa kebiasaan membaca belum terjadi pada diri siswa. Padahal, rendahnya kemampuan dan kebiasaan membaca tersebut akan berpengaruh terhadap mutu pendidikan nasional. Pada tahun yang sama, IEA (International Association for Evaluation Education Achievent) mengungkapkan bahwa kebiasaan membaca siswa Indonesia berada pada peringkat ke-26 dari 27 negara yang diteliti (Sitepu, 2002).

Rendahnya minat dan kemampuan membaca, antara lain, tampak pada rendahnya kecepatan efektif membaca mereka. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa pembelajaran membaca di sekolah belum maksimal, kalau tidak dikatakan gagal. Padahal, diketahui bahwa rendahnya kemahiran membaca akan sangat berpengaruh pada kemahiran yang lain, yaitu mahir menyimak, berbicara, dan menulis, termasuk di dalamnya menyimak, membaca, dan menulis karya sastra (Tarigan, 1994: 1).

Dari uraian di atas tampaklah bahwa kemampuan siswa dalam membaca dan minat siswa dalam membaca akan sangat berpengaruh terhadap apresiasi karya sastra, khususnya puisi.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah pengaruh kemampuan membaca intensif dan minat membaca terhadap nilai apresiasi puisi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pengaruh kemampuan membaca intensif dan minat membaca terhadap nilai apresiasi puisi.

BAB II

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

1. Puisi dan Apresiasi Puisi

Puisi sebagai salah satu jenis karya sastra merupakan pernyataan sastra yang paling inti. Segala unsur seni kesastraan mengental dalam puisi sehingga pembahasan sastra (ilmu sastra/poetika) sesungguhnya hanya ada satu istilah, yaitu puisi.

Puisi sama universalnya dan kunonya dengan bahasa dan merupakan bentuk sastra yang tertua, walaupun masih ditemukan bentuk-bentuk sastra yang lain. Karya besar yang bersifat abadi, seperti Mahabharata, Ramayana, Wedatama, Tripama, Babad Tatah Jawa, Oedipus, Machbeth, dan sebagainya dikarang dalam bentuk puisi.

Puisi berasal dari bahasa Yunani yang juga dalam bahasa Latin, poites, poeta yang mula-mula artinya ‘pembangun, pembentuk’ pembuat’. Asal katanya poeio atau poio atau poeo yang artinya ‘membangun, menyebabkan, menyair’ (Tarigan, 1995: 4). Dalam Ensiklopedi Indonesia (h. 1147), puisi diartikan hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kadang-kadang kata kiasan.

Wujud sastra, termasuk sastra, merupakan karangan bahasa yang khas memuat pengalaman yang disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang terkandung dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan secara estetik. Kekhasan susunan bahasa dan susunan peristiwa itu diharapkan dapat menggugah rasa terharu pembaca.

Puisi sebagai jenis sastra memiliki susun bahasa yang reltif lebih padat dibandingkan prosa. Pemilihan kata atau diksi dalam cipta puisi dapat dikatakan sangat ketat. Kehadiran kata-kata dan ungkapan dalam puisi diperhitungkan dari berbagai segi, misalnya makna, rima, irama, imajinasi, simbolik, dan kekuatannya. Oleh karena itu, kata-kata dalam puisi tidak semata-mata berfungsi sebagai alat penyampaian gagasan atau pengungkap rasa tetapi juga berfungsi sebagai bahan.

Penyair dalam menciptakan karyanya perlu memperhatikan segi-segi tersebut. Wujud puisi itu berupa bahasa sehingga bahasa yang diciptakannya pun mestinya bahasa yang puitis. Kata puitis itu sudah mengandung nilai keindahan yang ada dalam puisi. Memang agak sukar dan verbal untuk menentukan hal yang puitis. Namun, keputisan itu dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan visual: tipografi, susunan bait; dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang, rasa, dan orkestrasi; dengan diksi: bahasa kiasan, gaya bahasa, dan sebagainya (Waluyo, 1999: 67).

Cara-cara yang dilakukan untuk membentuk kepuitisan tersebut kemudian disebut dengan unsur-unsur pembentuk puisi. I.A. Richard mengemukakan unsur puisi terdiri atas hakikat puisi dan metode puisi. Hakikat puisi terdiri dari tema, rasa, nada, amanat atau tujuan. Metode puisi terdiri dari diksi, imaji, kata nyata, majas, dan ritme (Tarigan, 1995: 9).

Sejalan dengan Richard, Waluyo (1999) menyatakan bahwa puisi dibangun oleh dua unsur pokok, yaitu struktur batin dan struktur fisik. Unsur fisik (metode puisi) terdiri atas: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi (rima, ritma, dan metrum). Sedangkan struktur batin (hakikat puisi) terdiri atas tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada (tone), dan amanat (itention).

Istilah apresiasi sejajar dengan istilah to apreciate yang artinya ‘menilai secara tepat, memahami, dan menikmati (Sudjiman, 2004: 8). Jika pengertian ini dihubungkan dengan sastra (apresiasi sastra) maka paling tidak mengandung aspek menikmati, memahami, dan menilai.

A.S. Hornsbya (Nadeak, 1995, 44) memberi batasan apresiasi sebagai judgement, valution, proper understanding, and recognito (‘penimbangan, penilaian, pemahaman, dan pengalaman secara memadai’). Tarigan (1995: 233) mendifinisikan bahwa apresiasi adalah penaksiran kualitas karya sastra pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang jelas, sadar, serta kritis. Dengan demikian, tidak setiap orang dapat memberi apresiasi. Ia harus mempunyai pengalaman yang jelas, sadar, dan kritis.

Jika batasan tersebut dipakai dalam puisi berarti kegiatan atau usaha merasakan atau menikmati karya seni berbentuk puisi. Atau, proses menggauli puisi dengan sunguh-sungguh sehingga timbul pengertian, penghargaan, yang akhirnya dapat memberikan penilaian yang wajar berdasarkan pengalaman, pengamatan, yang selanjutnya paham apa yang dimaksud oleh penyair.

2. Membaca Intensif

Membaca merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa. Aspek yang lain adalah menyimak, menulis, dan berbicara. Membaca dan menyimak termasuk keterampilan reseptif (menerima) sedangkan menulis dan berbicara termasuk keterampilan produktif (menghasilkan).

Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/bahasa tulis. Dari segi linguistik, membaca adalah suatu proses penyandian kembali dan pembacaan sandi ( a recording an decoding process). Sebuah aspek pembacaan sandi (decoding) adalah menghubungkan kata-kata tulis (written word) dengan makana bahasa lisan (oral language meaning) yang mencakup pengubahan tulisan/cetakan menjadi bunyi yang bermakna (Anderson dalam Tarigan, 1994: 7). Secara singkat Finochiaro (Tarigan, 1994: 8) mengatakan bahwa reading adalah bringing meaning to and getting meaning from printed or written material, memetik serta memahami arti atau makna yang terkandung di dalam bahasa tertulis.

Terdapat berbagai ragam membaca. Salah satunya ialah membaca intensif. Membaca intensif adalah membaca dengan saksama, teliti, dan penanganan yang terperinci (Tarigan, 1994: 35). Mujiyanto (2006: 6) menyamakan membaca intensif ini dengan membaca dalam hati, yaitu kegiatan membaca yang berusaha memahami keseluruhan isi bacaan secara mendalam sambil menghubungkan isi bacaan itu dengan pengalaman maupun pengetahuan yang dimiliki pembaca tanpa diikuti gerak lisan maupun suara. Istilah membaca dalam hati sering juga dihubungkan dengan istilah membaca pemahaman serta membaca komprehensif karena tujuan membaca ini adalah untuk memahami isi bacaan secara menyeluruh dan mendalam.

3. Minat Membaca

Minat sangat berperan bagi keberhasilan aktivitas manusia sebab adanya minat akan muncul perhatian untuk melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Kalau seseorang kurang berminat untuk mempelajari sesuatu tidak dapat diharapkan dia akan behasil dengan baik dalam mempelajari hal tersebut. Sebaliknya, jika seseorang mempelajari sesuatu dengan minat maka diharapkan bahwa hasilnya akan lebih baik. Minat yaitu kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu (KBBI, 2001). Minat merupakan suatu dorongan yang muncul dari dalam diri manusia untuk melakukan suatu aktivitas dalam usaha memenuhi tercapainya tujuan.

Dengan perkembangan ilmu dan teknologi mengharuskan masyarakat untuk banyak membaca. Surat kabar, majalah, dan buku, bahkan internet, terbit setiap waktu dan ribuan jumlahnya. Semua itu diharapkan dapat dibaca oleh masyarakat. Agar mau membaca surat kabar, majalah, buku, ataupun intenet diperlukan minat yang tinggi. Tanpa ada minat, tidak akan membaca surat kabar, majalah, buku, ataupun internet.

Untuk meningkatkan minat membaca, Tarigan (1994: 103) menyarankan agar menyediakan waktu untuk membaca dan memilih bahan bacaan yang baik, ditinjau dari norma-norma kekritisan yang mencakup norma-norma estetik, sastra, dan moral.

B. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah

1. Ada pengaruh kemampuan membaca intensif terhadap nilai apresiasi puisi.

2. ada pengaruh minat membaca terhadap nilai apresiasi puisi.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam ini adalah pendekatan kuantitatif, artinya data yang diperoleh berupa angka-angka.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri Karangpandan, Kabupaten Karanganyar. Penelitian ini dilaksanakan pada akhir Juli dan awal Agustus 2008.

C. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah peserta didik kelas X SMA Negeri Karangpandan tahun pelajaran 2008/2009. Siswa kelas X berjumlah 344 siswa terdiri dari 8 kelas (320 siswa) reguler, yaitu kelas X.1 sampai dengan X.8 dan 1 kelas (24 siswa) program imersi. Dari 9 kelas ini yang dijadikan sampel penelitian adalah siswa kelas X.5. Siswa kelas X.5 berjumlah 40 siswa terdiri dari 19 laki-laki dan 21 perempuan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik tes dan nontes. Teknik tes digunakan untuk menjaring kemampuan siswa dalam membaca pemahaman dan mengapresiasi puisi. Teknik nontes yang digunakan ialah angket. Angket digunakan untuk mengetahui minat siswa dalam membaca.

E. Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data yang telah terkumpul digunakan teknik statistik. Data diolah dengan menggunakan SPSS ver 11.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Data

Setelah dilakukan serangkain tes, yaitu tes apresiasi puisi, tes membaca intensif, dan tes minat membaca diperoleh hasil sebagaimana tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Daftar Nilai Apresiasi Puisi, Membaca Intensif, dan Minat Membaca

NO.

NAMA

Y

X1

X2

1

ALDILA LINDA PRATIWI

6

8

4

2

AMIRUDIN

6

5

3

3

ANGGAH BAGUS NUR HIDAYAH

6

6

3

4

ANGGRAINI RISMA ISNI

3

5

2

5

AWANG SETYANINGRUM

6

5

3

6

DANING APRIANTI

7

8

4

7

DASA MARJONO

4

6

2

8

DEDY YULIYANTO

8

7

4

9

DHIKA SUMBARA

6

6

3

10

DODDY KURNIADI

4

3

1

11

DWI OKTAFIANTO

7

7

4

12

DYAH NOVITA KUMALASARI

8

7

3

13

ENDRO DWI PRASETYO

8

9

5

14

EXSAN DIDIK SETYAWAN

6

6

2

15

FADHILLA CAHYA ALIFA

9

7

5

16

FERY WIDIYANTO

6

7

3

17

FRANSISKA RIZKY W.

8

8

3

18

GYAN AMITA ISWANDANI

3

4

1

19

HANDINI LIESNANDARI

8

7

4

20

JUMINI

4

5

2

21

KURNIA WAHYUNINGSIH

5

6

2

22

MARFUAH

7

6

1

23

NANANG SETIYAWAN

8

6

2

24

NINING OKTAVIA

7

7

3

25

NOVI DEVIANA AYU PRASASTI

5

7

3

26

ONESTA SUKARNO PUTRO

6

6

2

27

PRADANA ANUSYA PUTRA

5

6

5

28

PRANTONO

7

5

3

29

PUJI SUSILOWATI

7

7

4

30

RIRIN SARITA

6

8

4

31

RISMA WIDYANINGRUM

7

4

3

32

RYAN KURNIADI

6

7

3

33

SARWONO EKO SAPUTRO

6

5

2

34

SULASTRI NAWANGSARI

8

7

5

35

SUROTO

5

4

3

36

TEGUH SANTOSO

6

6

2

37

TIARA RATNASARI

4

5

0

38

YESSY MEILINDA

6

7

2

39

YOLANDHA ADHI SATRIYA

7

8

4

40

YULIASIH

5

5

2

Keterangan : Y = Nilai Apresiasi Puisi

X1 = Nilai Kemapuan Membaca Intensif

X2 = Nilai Minat Membaca

Hasil data tersebut (nilai Y, X1, dan X2) kemudian diolah dengan menggunakan komputer. Setelah dilakukan estimati dan berbagai uji dengan komputer melalui program SPSS, hasilnya disajikan dalam tabel 2 sebagai berikut.

Tabel 2. Regresi Nilai Apresiasi Puisi atas Nilai Membaca Intensif dan Minat Membaca Siswa Kelas X SMA Negeri Karangpandan Tahun 2008

Variabel tergantung : Apresiasi Puisi

__________________________________________________________________

Variabel penjelas Koefisien nilai t

__________________________________________________________________

Konstanta 2.386 2.768

KBACA 0.382 2.201

MINBC 0.482 2.506

R2 0.447

F 14.952

DW 2.406

Heteroskedastisitas (LM Test) 0.24

Normalitas X2 4.47

__________________________________________________________________

B. Pembahasan

1. Uji Parameter Estimate

Nilai parameter yang diperoleh (parameter estimate) dari sampel yang ditarik secara random bertujuan memperediksi parameter populasinya. Jika respons Y terhadap perbedaan 1 skore X adalah 2 dari suatu sampel yang ditarik, maka hubungan X dan Y dari populasinya diprediksi sebesar itu juga (Setiaji, 2008:23).

Dari hasil penghitungan parameter di atas diperoleh nilai Kemampuan Membaca sebesar 0.382 yang menggambarkan arah hubungan atau kemiringan garis yang menghubungkan nilai Kemampuan Membaca dan nilai Apresiasi Puisi. Setiap nilai Kemampuan Membaca berubah 10, maka nilai Apresiasi Puisi berubah sebesar 3,82.

Sedangkan parameter estimate Minat Membaca diperoleh hasil 0.482 yang menggambarkan arah hubungan atau kemiringan garis yang menghubungkan nilai Minat Membaca dan nilai Apresiasi Puisi. Setiap nilai Minat Membaca berubah 10, maka nilai Apresiasi Puisi berubah sebesar 4.82.

2. Uji t

Uji t digunakan untuk menguji apakah pernyataan hipotesis benar. Hipotesis menyatakan bahwa hubungan X1 dan Y adalah positif atau searah, makin tinggi nilai X1 diduga mempengaruhi Y yang makin besar. Demikian juga hubungan X2 dan Y. Dari hipotesis di muka, maka uji t digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas Kemampuan Membaca Intensif dan Minat Membaca secara parsial memberikan pengaruh terhadap variabel terikat nilai Apresiasi Puisi.

Berdasarkan data hasil penghitungan diketahui bahwa nilai t1 sebesar 2.201. Karena 2.201 > 2.0, berarti nilai t1 signifikan. Ini berarti nilai Kemampuan Membaca Intensif berpengaruh terhadap nilai Apresiasi Puisi. Demikian juga perolehan nilai t2 sebesar 2.506. Karena 2.506 > 2.0, berarti nilai t2 juga signifikan. Ini berarti nilai Minat Membaca juga berpengaruh terhadap nilai Apresiasi Puisi.

3. Uji R2

Uji R2 atau uji determinasi digunakan untuk menjelaskan ketepatan pemilihan variabel X1 dan X2 terhadap Y. Ukuran ketepatan model dalam hal ini sebesar R2 = 0.2. Ini menunjukkan pemilihan variabel X1 dan X2 dalam menjelaskan variasi Y sebesar 20 persen, sedangkan sisanya (80 persen) ditentukan oleh variabel-variabel lain di luar model.

Berdasarkan data di atas, hasil R2 adalah 0.447. Hasil ini memperlihatkan bahwa 44.7 persen pemilihan variabel X1 dan X2, sedangkan sisanya 55.3 persen ditentukan oleh variabel lain di luar model. Karena 44.7 > 20, maka pemilihan variabel Kemampuan Membaca Intensif dan Minat Membaca sudah tepat dan dapat dikatakan penting.

4. Uji F

Uji F juga digunakan untuk menguji kebenaran hipotesis alternatif, yaitu bahwa model pilihan peneliti sudah tepat. Distribusi nilai F hanya searah ke arah positif jika hasil F hitung sudah lebih besar dari 4, maka model yang diuji dengan pilihan variabel sudah tepat (fit) (Setiaji, 2008: 44).

Berdasarkan hasil penghitungan dengan menggunakan SPSS diperoleh hasil bahwa hasil F hitung adalah 14,952. Karena nilai F hitung sebesar 14.952 yang tentu saja lebih besar dari 4, maka variabel yang dipilih yaitu Kemampuan Membaca Intensif dan Minat Membaca diputuskan sudah cukup baik. Sehingga, pemilihan kedua variabel penjelas sudah tepat.

5. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah variabel pengganggu e dari suatu regresi berdistirbusi normal. Jika variabel e berdistribusi normal, maka variabel yang diteliti Y juga berdistribusi normal. Untuk menguji normalitas e digunakan formula Jarque Berra (JB). Untuk mendapatkan hasil itu, harus mencari dulu skewness (kemencengan) dan kurtosis (keruncingan). Jika JB hitung lebih besar dari 9,21 maka data yang diuji tidak normal. Sebaliknya, jika JB hitung lebih kecil dari 9,21 maka data termasuk dalam klas distribusi normal.

Dari hasil penghitungan dengan SPSS diperoleh nilai S sebesar -0.039 dan K sebesar -0.275. Dengan sampel sebanyak 40 dan variabel sebanyak 3, maka diperoleh hasil JB = 4.47. Jadi, nilai JB = 4.47 lebih kecil dari 9.2. Dengan perolehan hasil ini, maka data yang diuji termasuk dalam distribusi normal, implikasinya bahwa Y juga berdistribusi normal.

6. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas digunakan untuk menguji apakah sampel homogen atau heterogen. Untuk mengetahui apakah sampel tersebut homogen atau heterogen, dapat digunakan metode uji Lagrang Multilier (LM). Uji ini dapat diperoleh melalui SPSS pada R2 setelah mengkuadratkan nilai residual dan predicted. Hasil R2 ini kemudian dikalikan dengan jumlah sampel. Jika (R2.N) lebih besar dari 9.2 maka standar error mengalami heteroskedastisitas. Sebaliknya, jika nilai (R2.N) lebih kecil dari 9.2 maka standar error tidak mengalami hetereskedastisitas.

Berdasarkan analisis regresi dengan SPSS diperoleh nilai R2 seberesar 0.006. Kemudian, hasil ini dikalikan jumlah sampel (40), maka diperoleh 0.24. Karena nilainya hanya 0.24 yang tentu saja lebih rendah dari 9.21, maka riset dengan data simulai di atas tidak mengandung heteroskedastisitas.

7. Uji Otokorelasi

Otokorelasi adalah keadaan di mana terdapat trend di dalam variabel yang diteliti sehingga mengakibatkan e juga mengandung trend. Otokorelasi itu sendiri bermakna adanya korelasi data yang diurutkan dengan order waktu atau antartempat (Setiaji, 2008: 68). Ada beberapa cara untuk menguji adanya otokorelasi, misalnya uji Durbin Watson (DW). Jika hasil hitung DW sama dengan 2, maka tidak terjadi sempurna. Jika DW nilainya antara 1.5 sampai 2.5, maka data tidak mengalami otokorelasi. Tetapi, jika DW = 0 sampai 1.5 disebut memiliki otokorelasi positif dan jika DW > 2.5 sampai 4 disebut memiliki otokorelasi negatif.

Analisis menggunakan SPSS diperoleh penghitungan Durbin-Watson sebesar 2.406. Dari data tersebut berarti data tidak mengalami otokorelasi.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penghitungan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan membaca intensif dan minat membaca berpengaruh terhadap nilai apresiasi puisi. Penambahan nilai kemampuan membaca intensif dan minat membaca secara signifikan berpengaruh terhadap nilai apresiasi puisi.

Pemilihan variabel Kemampuan Membaca Intensif dan Minat Membaca dapat dikategorikan baik dan tepat. Ini berdasarkan hasil uji F dan R2. Data yang diperoleh juga normal, homoskedastik, dan tidak mengalami otokorelasi.

B. Saran

Kemampuan membaca intensif (membaca pemahaman) dan minat membaca berpengaruh terhadap nilai apresiasi puisi. Untuk itu, agar perolehan nilai apresiasi puisi baik, kemampuan membaca intensif siswa dan minat membaca siswa perlu juga ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Doyin, Mokh. 2002 “Sastra Memang Belum Dibutuhkan”. Suara Merdeka. Semarang. 8 September 2002.

Endraswara, Suwardi. 2002. “Detik-detik Kematian Pengajaran Sastra.” Suara Merdeka. Semarang. 1 September 2002.

Mujianto P. 2006. Pembelajaran Membaca di Sekolah Menengah Atas. Semarang: LPMP Jawa Tengah.

Nadeak, Wilson. 1995. Pengajaran Apresiasi Puisi. Bandung: Sinar Baru.

Sawali. 2007. “Guru Bahasa, Guru Sastra, dan KTSP” tersedia dalam http://jalan-mendaki.blogspot.com.2007/07/guru-bahasa-sastra-dan-ktsp.html diakses tanggal 25 Januari 2008.

Setiaji, Bambang. 2008. Cara Mudah Analisis Kuantitatif. Surakarta: Al-Es’af University Press.

Sitepu, B.R. 2002. “Lagi-lagi Membaca”. Buletin Pusat Perbukuan. Nomor V 2002.

Soprijadi, Piek ardijanto. 2005. “Apresiasi Sastra pada Siswa SMA”. Suara Merdeka. Semarang. 18 Oktober 2005.

Sudjiman, Panuti. 1995. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.

Tarigan, Henry Guntur. 1994. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

________. 1999. Dasar-Dasar Teori Sastra. Bandung: Angkasa.

Waluyo, Herman J. 1999. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.


[1] Tugas Mata Kuliah Penelitian Kuantitatif dosen Prof. Dr. Bambang Setiaji

Makalah Pemerolehan Bahasa

BENTUK PEMEROLEHAN BAHASA ‘M. GIBRAN PRADANA’

YANG MENGGELIKAN[1]

Oleh : Narbuqo Nanang Sunarso

Pengkajian Bahasa, Solo 4

Abstrak

Setiap anak mengalami proses pemerolehan bahasa yang beragam. Ada yang cepat memperoleh bahasa dengan banyak kosakata, ada yang biasa saja, namun ada juga yang sedikit memperoleh kosakata, bahkan ada yang terlambat. Ada yang lancar mengucapkan huruf, ada yang bercampur antara huruf yang satu dengan yang lainnya, ada juga yang cadel, tidak dapat mengucapkan bunyi getar [r]. Pemerolehan bahasa yang dialami oleh M. Gibran Pradana dari umur dua tahun hingga masuk SD ada keunikanny, bahkan menimbulkan kegelian bagi orang tua, keluarga, atau orang yang mendengarnya. Dia sedikit memiliki kosakata dan sangat cadel. Dia juga sulit menyanyi

Kata kunci:

Dana, pam-pam, cadel, menyanyi

A. Pendahuluan

Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition, yakni proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language) (Dardjowidjojo, 2008:225). Istilah ini dibedakan dari pembelajaran yang merupakan padanan dari istilah learning. Dalam pengertian learning proses itu dilakukan dalam tatanan yang formal, di belajar di kelas dan diajar oleh seorang guru. Dengan demikian, proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya disebut pemerolehan bahasa, sedangkan proses dari orang (umumnya dewasa) yang belajar di kelas disebut pembelajaran bahasa.

Menurut Sofa (2008), ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.

Pemerolehan bahasa anak terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa telah memperoleh bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.

Pemerolehan bahasa sangat erat dengan perkembangan kognitif, yakni, pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tatabahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh kategori-kategori kognitif yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah.

Manusia mempunyai warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupannya untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian anatomi dan fisiologi manusia. Tingkat perkembangan bahasa semua anak adalah sama, artinya semua anak dapat dikatakan mengikuti pola perkembangan yang sama.

Menurut Chomsky, setiap anak mampu menggunakan suatu bahasa karena adanya pengetahuan bawaan yang secara genetik telah ada dalam otak manusia. Lenneberg dalam Hipoteses Umur Kritis-nya menyatakan bahwa pertumbuhan bahasa seorang anak itu terjadwal secara biologis (Dardjowidjojo, 2000: 301).

Orang tua (orang dewasa) umumnya tidak merasakan bahwa menggunakan bahasa merupakan suatu keterampilan yang luar biasa rumitnya. Pemakaian bahasa yang terasa lumrah karena memang tanpa diajari oleh siapa pun seorang bayi akan tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan bahasanya. Dari umur satu tahun sampai dengan umur dua tahun seorang bayi mulai mengeluarkan bentuk-bentuk kata bahasa yang telah diidentifikasi sebagai kata. Ujaran satu kata ini tumbuh menjadi ujaran dua kata dan akhirnya menjadi kalimat yang kompleks menjelang umur empat atau lima tahun. Setelah umur lima tahun, seorang anak mendapatkan kosa kata dan kalimat yang lebih baik dan sempurna.

Menurut Sofa, masa perkembangan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting, yaitu (a) perkembangan prasekolah, (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata, dan ujaran kombinasi permulaan.

Perkembangan bahasa pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua (khususnya ibu) dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain, serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya dalam tahap ini lazimnya berupa kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan benda, dan kata yang menyatakan pemerian.

Perkembangan pemerolehan bahasa yang dialami oleh Muhammad Gibran Pradana sebenarnya seperti perkembangan anak pada umumnya. Akan tetapi, ada suatu kelemahan atau keunikan pemerolehan bahasa yang dialami oleh anak tersebut yang menjadikan kegelian. Bagaimanakah bentuk pemerolehan bahasa anak (khususnya yang dialami oleh M. Gibran Pradana)? Bagaimana bentuk keunikannya? Apakah ada unsur keterlambatan dalam pemerolehan bahasa?

Makalah ini membahas – walaupun hanya sekilas – bentuk pemerolehan bahasa anak, khususnya yang dialami oleh M. Gibran Pradana (anak penulis) dari umur satu tahun hingga tujuh tahun dan kemungkinan adanya unsur keterlambatan dalam pemerolehan bahasa pada diri anak tersebut.

Data yang diperoleh dalam tulisan ini merupakan kosakata yang pernah diucapkan oleh anak tersebut yang masih diingat oleh penulis dan Mamahnya (istri penulis). Untuk memperoleh keakuratan data, data yang berupa kumpulan kosakata yang pernah diucapkan oleh anak tersebut, kemudian dikonfirmasikan dengan nenek, anggota keluarga lainnya, dan tetangga dekat yang pernah menggendong atau bermain dengan anak tersebut.

B. Pemerolehan Bahasa M. Gibran Pradana

Muhammad Gibran Pradana – biasanya dipanggil Dana – anak kedua penulis, lahir di Gadingrejo, Kab. Tanggamus, Lampung, pada tanggal 13 Oktober 1999. Pada umur dua tahun (November 2001) mengikuti orang tuanya pindah ke Karanganyar, tepatnya di Matesih, karena Papahnya mutasi tugas ke SMA Negeri Karangpandan. Ketika di Lampung, Dana hidup dalam lingkungan masyarakat dari berbagai suku, tetapi dominan suku Jawa, sehingga komunikasinya dominan bahasa Jawa (bahasa Jawa kasar/ngoko). Namun demikian, Dana sempat memperoleh beberapa kosakata bahasa Indonesia. Setelah pulang ke Jawa, pemerolehan bahasa dominan bahasa Jawa, sedangkan kosakata bahasa Indonesia didapatkannya di lingkungan sekolah dan dari melihat televisi.

Proses bicara anak biasanya dihubungkan dengan proses motorik, misalnya berjalan. Selain itu, ada anggapan bahwa anak yang lebih dahulu dapat berjalan, akan terlambat bicaranya. Sebaliknya, anak yang terlebih dahulu dapat bicara, akan terlambat berjalannya. Dalam diri Dana anggapan tersebut tidak terbukti. Dana lambat dalam bicara, juga lambat dalam gerak motorik. Dana baru dapat berjalan ketika berumur 18 bulan (1,5 tahun).

Pemerolehan bahasa yang diperoleh oleh Dana hingga umur dua tahun sangat minim. Minimnya pemerolehan kosakata yang diucapkan, sempat membuat adanya rasa kekhawatiran pada Mamahnya. Akan tetapi, orang tua Dana tinggal di desa, jauh dari kota. Jadi, tidak ada terpikirkan akan dikonsultasikan ke dokter. Rasa khawatir itu hilang sendirinya seiring dengan jalannya waktu. Kalaupun dibandingkan dengan Yudi (anak Prof. Kunardi Hardjoprawiro, dalam artikelnya), Dana masih lebih baik. Yudi hingga dua tahun hanya mampu menghasilkan suara [hoa-hoa] seperti suara yang dikeluarkan saat menangis. Sedangkan Dana sudah dapat mengucapkan suara bervariasi, walaupun jumlahnya terbatas.

Kata yang sempat diucapkan oleh Dana hingga berumur dua tahun masih seperti yang diucapkan ketika masih berumur satu tahun. Kata-kata tersebut didominasi bunyi vokal. Itu pun kadang tidak jelas maknanya. Misalnya, [ae] “mbahe” (‘nenek’), [iya] “Windha” (nama keponakan), [bo] “kebo” (‘kerbau’), [aes] “nangis”, [adza] “Nanda” (nama kakaknya). Ini berbeda sekali dengan yang diperoleh Echa ketika telah berumur dua tahun. Echa dapat mengucapkan [peda] “sepeda”, [tupu-tupu] “kupu-kupu”, dan sebagainya (Dardjowidjojo, 2000: 126).

Kosakata bahasa Indonesia yang pernah diucapkan oleh Dana hingga berumur antara dua tiga tahun, antara lain, [ndak ole] “tidak boleh”, [әgi] “pergi”, [amal adi] “kamar mandi”, [duk usi] “duduk kursi”, dan sebagainya.

Pada umur tiga tahun, Echa telah menguasai lebih dari sepuluh jenis huruf, yaitu [p], [b], [t], [d], [h], [m], [n], [l], [w], [y], [k], [s], [ŋ], walaupun kadang-kadang masih tercampur huruf [d] dan [g], misalnya [datal] “gatal” [ladi] “lagi”. Bahkan, Echa sudah dapat mengucapkan [limot] “remot” (Dardjowidjojo, 2000: 102-103).

Dana waktu berumur tiga tahun belum menguasai huruf sebanyak itu. Masih banyak kata yang ‘campur’ maknanya. Misalnya, [ae] untuk “mbahe”, “kae” (‘itu’), dan “wae” ‘saja’ dan [atal] untuk “gatal” dan “nakal”.

Percampuran huruf juga terjadi, misalnya antara [h] dan [d], [j], [b]

[holan] “dolan” ‘bermain’

[haluk] “jaluk” ‘minta’

[hәluk] “jeruk”

[hәli] “beli”

[hulik] “bulik” ‘tante’

[hobok] “bobok” ‘tidur’

[hudhe] “budhe”

C. Peristiwa Menggelikan Hingga Berumur 6 Tahun

Umur lima tahun, Dana masuk taman kanak-kanak. Keanehan terjadi. Lebih dari 6 bulan masuk TK, Dana tidak mau berbicara selama mengikuti kegiatan belajar. Apalagi menyanyi. Ia selalu diam. Selama sekolah, Mamahnya selalu menemani di sampingnya. Jika ia tidak sedang menggambar atau menulis, tangannya selalu memegangi baju atau tangan Mamahnya. Interaksi dengan teman-teman juga terbatas Akibatnya, pemerolehan bahasa pada masa ini sangat minim. Ada olokan dari ibu-ibu yang mengantarkan anaknya sekolah. Dana “bisu” (tunawicara).

Kami selaku orang tua juga memiliki rasa kekhawatiran melihat keadaan tersebut. Apalagi Mamahnya. Ia malu dan capek setiap hari harus duduk di sebelah anak TK. Bahkan, kadang-kadang jongkok. Bayangkan, dari jam 08.00 hingga jam 09.00, istirahat sebentar, lalu masuk lagi hingga jam 10.00 harus jongkok karena tidak disediakan kursi oleh sekolah!

Mengapa ‘aksi diam’ tersebut terus berlanjut? Padahal, jika di rumah atau setelah sekolah, dia melakukan aktivitas seperti anak-anak umumnya. Apakah sebenarnya dia tidak mau sekolah? Apakah takut? Tidak! Ketika di rumah ditanya, dia tidak takut sekolah dan tidak ada yang ditakuti. Dia juga kelihatan senang dalam mengikuti pelajaran, tidak ‘ngambek’ apalagi menangis.

Sebagai suami, penulis memberi nasihat kepada Mamahnya Dana. Hal tersebut tidak perlu dipikirkan terlalu jauh. Biarkan saja. Yakin saja, suatu saat jika waktunya pasti akan berubah. Betul juga. Setelah satu semester (masuk semester 2), Dana mau ditinggal, dan sudah berani mengucapkan sepatah dua patah kata. Namun, untuk mau menyanyi, belum mau. Dana baru mau dan bisa menyanyi setelah 1,5 tahun di TK.

Hingga berumur enam tahun atau masuk SD, Dana belum bisa sama sekali mengeluarkan bunyi huruf getar [r]. Semua kata yang mengandung [r] dilafalkan [l]. Dibandingkan dengan Echa, Echa sudah dapat mengucapkan bunyi getar [r] dengan baik ketika Echa berumur 4 tahun 9 bulan (Dardjowidjojo, 2000: 113). Kata-kata yang diucapkan Dana, misalnya

[pilo] “piro” ‘berapa’

[alep la] “arep ora” ‘mau tidak’

[telus] “terus”

[damal] “Damar” (nama temannya)

[sepul] “sepur” ‘kereta api’

Akibat dari itu, jika bermain Dana selalu digoda, diolok-olok, dan dijadikan bahan tertawaan oleh teman-teman, kakak kelasnya, atau keluarga dewasa. Misalnya, ia disuruh mengucapkan kata ‘laler’, ‘peri’, ‘pring, ‘ril’. Dana cadel, bahkan sangat cadel. Hingga akhir kelas 1, ia belum bisa mengucapkan bunyi getar tersebut, sehingga ia tidak banyak berkata-kata. Katanya, “Isin diguyu” (malu ditertawakan).

Dana pernah memanggil nama salah seorang tetangga yang masih remaja dengan sebutan [pam-pam]. Orang tersebut sering bermain ke rumah penulis dan menggoda Dana. Nama asli orang tersebut adalah Pramono. Mengapa Pramono bisa menjadi pampam? Jika ditelusuri, kata Pram diucapkan oleh Dana menjadi [pam]. Hal ini karena cadelnya tadi. Dana memanggilnya beberapa kali, [pam-pam-pam, he pam mas pam]. Jadilah, pam-pam. Anehnya, hingga sekarang orang tersebut biasa dipanggil mas Pam-pam.

Peristiwa menggelikan lainnya yaitu ketika Dana minta makan dengan [iak] “iwak” ‘ikan’. Dalam lingkungan penulis, “iwak” bisa bermakna lauk (dari daging) dapat juga bermakna ikan (laut, air tawar). Penulis mencarikan daging ayam untuk lauk makan. Dia tidak mau. Dia malah menangis. Kemudian, diberi dagingsapi. Ia tetap tidak mau. Dia bahkan menangis sekeras-kerasnya. Katanya [maәm iak ulip] “maem iwak urip” ‘makan dengan ikan hidup’. Ikan hidup? Makan dengan ikan hidup? Kami sekeluarga kebingungan. Dana minta makan lauknya ikan hidup. Ikan hidup yang bagaimana?

Dia minta diantar ke terminal bus. Di terminal bus tersebut dia menunjuk ke tempat penjual ikan. Di tempat penjual itu dia menunjuk ikan-ikan yang masih hidup yang diletakkan di ember-ember plastik. Ada ikan emas, kakap, lele, dan sebagainya. Ooo, ternyata dia minta lauk ikan emas. Bukan berarti ikan yang masih hidup, namun ikan yang sudah digoreng. Peristiwa tersebut masih menjadi pengalaman yang tidak terlupakan hingga sekarang.

Dana sekarang telah berumur delapan tahun dan duduk di kelas 3 SD. Kami sekeluarga sudah tenang, sekarang dia tidak cadel lagi. Kosakatanya juga sudah banyak. Kecadelan hilang ketika dia berada di kelas dua, setelah banyak bergaul dengan teman-teman bermainnya. Ketika ditanya mengapa dulu di TK dia diam saja. Katanya, malu kalau ditertawakan. Kata-kata yang diucapkan memang menggelikan. Ia memang cadel.

D. Penutup

Pemerolehan kebahasaan yang dialami oleh Dana sebenarnya bukan merupakan suatu keterlambatan. Ia dapat mengucapkan kata-kata sederhana sejak berumur satu tahun. Beberapa kosaka dapat diucapkan hingga berumur tiga tahun. Ia hanya mengalami kelambatan dalam perkembangan pemerolehan bahasa. Perkembangan pemerolehan bahasa yang lambat karena faktor psikologis. Ia takut ditertawakan oleh lingkungannya karena cadel. Ketidakjelasan makna kata yang diucapkan juga membuat dia rendah diri. Ia malu berbicara. Akibatnya, pemerolehan kosakatanya juga tidak banyak.

Keunikan pemerolehan bahasa yang menjadikan kegelian, misalnya ketika ia minta makan dengan lauk [iak ulip] ‘ikan hidup’. Padahal yang ia maksud adalah minta lauk ikan emas. Ia juga memanggil tetangganya [Pam-pam] yang maksudnya Pramono. Pada saat sekolah TK, ia sempat melakukan “aksi diam” selama satu semester. Semua peristiwa tersebut menjadikan pengalaman tak terlupakan bagi orang tuanya.

Daftar Pustaka

Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

_______. 2008. Psikolinguistik, Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hardjoprawiro, Kunardi. 2007. Pemerolehan Kosa Kata yang Terlambat. artikel. (materi kuliah Pascasarjana).

Sofa. 2008. “Pemerolehan Bahasa Pertama dan Kedua” dalam http://massofa.wordpress.com/2008/01/28 diakses tanggal 22 April 2008.



[1] Tugas Mata Kuliah Pemerolehan Bahasa dosen Prof. Dr. Kunardi H.